Puatta MalampE'E Gemme'na,
Tokoh Sejarah atau ..Dukun ?
PENDAHULUAN
Nama lengkapnya : La Tenri Tatta DaEng SErang To Unru Arung Palakka Petta MalampE'E Gemme'na Datu Mario ri Wawo Petta TorisompaE Sultan Sa'aduddin Datu Tungke'na Tana Ugi Mangkau' ri Bone -XV Petta MatinroE ri Bontoala'. Kemudian VoC Belanda menggelarinya pula ; De Koningh der Bougies alias Raja Bugis.
Keterangan Gambar :
Patung replika "Arung Palakka" dengan latar belakang potret ANDI MAPPANYUKKI SULTAN IBRAHIM DATU SUPPA MANGKAU RI BONE (Koleksi dalam perawatan PENULIS)
Beberapakali penulis bertemu dengan orang yang menyatakan diri sebagai "Paranormal" yang katanya kerap dikunjungi oleh "Arung Palakka Petta MalampE'E Gemme'na". Bahkan ada diantaranya yang menawarkan pada penulis untuk dipertemukan dengan beliau. Karena konon khabarnya, Arung Palakka Petta MalampE'E Gemme'na kerap mengobati banyak orang sakit yang penyakitnya sudah tidak mampu lagi disembuhkan oleh dokter medis. Ah, yang benar saja ?!
Entah kenapa, hati kecilku terasa miris dan tidak terima jika Baginda Arung Palakka dicitrakan seperti itu. Walau akupun tahu jika selama hidupnya, Puatta Arung Palakka MalEmpE'E Gemme'na adalah pribadi agung yang mulia serta senantiasa bersedia menolong sesama manusia dengan mempertaruhkan segala apa yang dimilikinya sekalipun, namun baginda adalah seorang Raja Terbesar yang pernah ada di Sulawesi, bukannya seorang dukun. Beliau memiliki rasa kemanusiaan dan bercita-cita untuk menegakkan harkat dan martabat "Tana Sempugi" (Sulawesi), sehingga oleh banyak sejarawan menyatakan jika baginda adalah : Pahlawan Kemanusiaan.
Bertahun-tahun beliau dicitrakan sebagai "Penghianat Bangsa" pada pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) di masa Orde Baru, namun pada masa menjelang padamnya Orde itu pulalah cap "Penghianat Bangsa" atas kiprahnya bekerjasama dengan VoC dalam menaklukkan Gowa beserta sekutunya pada kancah Perang Makassar dihapus. Pasalnya, hingga kini tidak seorangpun dari sekian banyak ahli sejarah yang dapat membuktikan secara riil perihal penghianatan Baginda Arung Palakka. Jika dikatakan sebagai "Penghianat Bangsa Indonesia", bagaimana mungkin seorang tokoh yang hidup pada abad XVIII "dapat" menghianati BANGSA YANG BELUM ADA pada masa itu ?. Maka cap "Penghianat Bangsa" bagi Baginda Petta TorisompaE (sebagaimana beliau dipanggil pada jamannya) adalah sangat tidak logis karena tidak sesuai dengan ruang waktu dan sejarah yang menjadi latarnya.
Baginda Petta TorisompaE adalah putera La Pottobunne' Arung Tana Tengnga dari permaisurinya, yakni We Tenrisui Datu Mario ri Wawo. La Pottobunne' sendiri adalah putera La Sangaji KaraEng LoE dengan We Tenri Lennareng DagaE Datu Ganra (puteri La Sekati Tosoangmegga Datu Soppeng XI dengan We Saodah DenraE ri Ganra). Sementara itu, We Tenrisui Datu Mario ri Wawo adalah puteri La Tenrirua Sultan Adam Arung Palakka Mangkau ri Bone XI Petta MatinroE ri BantaEng dengan permaisurinya, yakni : We Tenri LEkke' Baji LEmbaE Datu Mario ri Wawo. Maka menilik dari silsilah Baginda Petta TorisompaE, sesungguhnya beliau memiliki darah trah Soppeng daripada trah Bone. Namun salah seorang kakek baginda, yakni La Tenrirua Sultan Adam Arung Palakka Mangkau ri Bone XI Petta MatinroE ri BantaEng adalah seorang tokoh sejarah yang sangat terkenal sebagai Raja Tanah Bone yang pertama masuk Islam sehingga mengakibatkan beliau "disomasi" oleh Ade'PituE (Dewan Adat Tanah Bone) untuk memilih satu diantara yang dua, yakni : Tahta atau Agama Islam ?. Jika memilih tetap menduduki tahta, maka baginda harus keluar dari Agama Islam karena rakyat Bone belumlah menerima Islam. Namun jika ia tetap mempertahankan keyakinannya, maka bagindapun harus meninggalkan tahtanya. Maka baginda memilih "lengser" dari Tahta Mangkau' Tana Bone, demi mempertahankan aqidah yang telah diyakininya. Selanjutnya ia bersama keluarganya menjalani hidup di pengasingan hingga akhir hayatnya di BantaEng.
Pergolakan Yang Melahirkan Tokoh Besar
Seorang pelaut ulung mestilah terlahir ditengah perairan laut yang ganas..
.
Bahwa salahsatu peristiwa besar pada pertengahan abad 17 adalah terjadinya peperangan antara kerajaan Bone dan Wajo. Dampak perang antar dua negeri yang sebenarnya terikat sumpah persekutuan "MattellumpoccoE" (Persekutuan Tiga Negeri Bugis yakni : Bone, Wajo dan Soppeng) ini menimbulkan efek domino yang memicu peristiwa-peristiwa penting setelahnya, hingga memetakan gejolak politik di jazirah Sulawesi sampai abad 20.
Tersebutlah La Maddaremmeng Sultan Ahmad Saleh Petta MatinroE ri Bukaka Mangkau' ri Bone – XIII, adalah seorang raja yang sholeh dan memegang teguh syariat Islam. Baginda telah berhasil menanamkan Sara' (syariat) dalam kehidupan pangadereng (adat) sebagai pola dalam tata kehidupan Negara dan rakyat Tana Bone. Mangkau' ri Bone dalam kedudukannya sebagai raja Bone, juga dipandang sebagai Amirul Mukminin Tanah Bone. Maka segala hal yang bertentangan dengan Syariat Islam seperti pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang (saukeng), perjudian (boto) , meminum minuman keras dan perbudakan (ata) adalah hal yang terlarang seketika itu di Tanah Bone dan negeri taklukannya.
Tentu saja pelarangan yang serta merta itu tidak dapat diterima semua orang di Bone. Terutama pada kalangan bangsawan yang terbiasa dengan tatanan (wari) lama, termasuk dalam hal ini adalah : We Tenri Soloreng MakkalaruE Datu Pattiro, ibunda Baginda La Maddaremmeng sendiri. Maka para pangeran yang tidak setuju karena merasa dirugikan oleh "undang-undang baru" Raja Bone, melakukan pembangkangan dengan segera memohon perlindungan kepada We Tenri Soloreng MakkalaruE Datu Pattiro. Dalam pemikirannya, tidaklah mungkin jika La Maddaremmeng tega dan berani melawan ibunda yang melahirkannya.
Namun lain halnya bagi Baginda La Maddaremmeng, menjalankan amanah sebagai Amirul Mukminin bahwa hukum syariat berlaku bagi seluruh kaum Mukmin dan seluruh rakyat dalam wilayah Kerajaan Islam Bone, tidak memandang siapapun, termasuk ibundanya sendiri yang memimpin kaum pembangkan. Maka dengan hati tetap, bagindapun melakukan penyerangan ke Pattiro dalam tahun 1640.
Mengetahui jika puteranya benar-benar hendak menangkapnya, Datu Pattiro bersama pengikutnya terlebihdahulu menyingkir ke Kerajaan Gowa untuk meminta perlindungan kepada I Manuntungi DaEng Mattola KaraEng Ujung KaraEng Lakiung Sultan Malikussaid Tumenanga ri Papambatunna Sombayya Gowa – XV (1639-1653) atau kerap pula disebut sebagai Sultan Muhammad Said. Keputusan meminta perlindungan pada Kerajaan Gowa, karena dipandangnya bahwa Kerajaan Gowa adalah satu-satunya kekuatan yang disegani Kerajaan Bone. Bahkan pada masa itulah, Kerajaan Gowa telah mencapai masa keemasannya sebagai Kekaisaran Timur yang berpengaruh dengan daerah taklukannya meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia Timur pada saat ini.
Berbagai upaya ditempuh oleh Sultan Malikussaid untuk mendamaikan perseteruan ibu dan anak itu, yakni dengan mengirim utusan ke Mangkau'E ri Bone kiranya dapat bersikap lunak dalam menerapkan hukum Syariat Islam, termasuk dalam hal ini memaafkan ibundanya dan para pengikutnya. Namun pendirian Baginda Raja Bone tetap teguh, bahkan menuntut Raja Gowa agar mengekstradisi para pelarian dari Bone itu. Maka terjadilah ketegangan antara keduanya, masing-masing penguasa terkuat dan paling berpengaruh di Sulawesi Selatan pada masa itu.
Sementara itu, upaya Baginda La Maddaremmeng untuk menegakkan syariat Islam semakin gencar. Segenap raja-raja tetangga baik kawan maupun lawan dicelanya apabila tidak menjalankan syariat Islam sebagaimana mestinya. Bahkan lebih jauh lagi, dalam tahun 1643 daerah-daerah perbatasan Tana Bone dan Wajo yang dianggapnya tidak mentaati syariat Islam diperanginya. Maka Kerajaan Wajo mengangkat senjata melawan arogansi Tana Bone, dipimpin langsung oleh rajanya yang pemberani, yakni : I La Sigajang Tobunne Arung Matoa Wajo – XIX (1639-1643).
Peperangan berlansung sengit selama dua bulan dengan korban berjatuhan yang tidak sedikit pada kedua belah pihak. Daerah Pammana yakni disebelah selatan sungai Patila yang merupakan wilayah Wajo menjadi medan laga memerah darah. Hingga suatu ketika, I La Sigajang Tobunne gugur ditengah pertempuran yang berkecamuk itu. Namun dengan segera, Dewan Adat Tana Wajo mengkonsolidasi diri ditengah suasana genting dengan menobatkan La Makkaraka Topatemmui sebagai Arung Matoa Wajo – XX (1643-1648), sehingga tidak terjadi kekosongan pucuk pimpinan tertinggi pada negeri yang sedang dilanda penyerbuan Tana Bone itu. Maka perlawanan tetap dilanjutkan !.
Gugurnya I La Sigajang Tobunne Arung Matoa Wajo – XIX membuat Sultan Malikussaid Sombayya Gowa murka. Perlu kiranya dikemukakan pada bagian ini, bahwa I La Sigajang Tobunne Arung Matoa Wajo – XIX adalah cucu La MungkacE Touddama Ranreng Talo TenrEng Arung Matoa Wajo – XI. Bahwa secara pribadi, ayahanda Sultan Malikussaid Sombayya Gowa, yakni : I Mangngurangi DaEng Mangrabia Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna Somba Gowa – XIV sebelum menduduki tahta Kerajaan Gowa, terlebih dahulu berguru ilmu Tata Negara, Astronomi, Pilsafat dan Pertanian kepada La MungkacE Touddama di Wajo. Bahkan setelah dinobatkan menjadi Sombayya Gowa, Sultan Alauddin senantiasa mendudukkan tongkat La MungkacE Touddama disampingnya, sebagai tanda hormatnya pada gurunya tersebut. Maka tewasnya Raja Wajo yang juga cucu La MungkacE Touddamang dapatlah dijadikan alasan menuntut balas bagi Raja Gowa dengan memaklumkan perang terhadap Tana Bone dalam tahun 1644.
Maka dalam hal ini, penulis agaknya tidak sependapat dengan beberapa pakar sejarah Sulsel yang menyatakan jika alasan penyerbuan Gowa pada pasukan Bone disebabkan kemurkaan Sultan Malikussaid yang menganggap La Maddaremmeng sebagai "anak durhaka" pada ibundanya, sehingga harus diberi hajaran. Walaupun tentu saja disepakati bahwa alasan sesungguhnya adalah dalam rangka memperebutkan keunggulan (dominasi) sebagai Kerajaan paling berpengaruh di jazirah Sulawesi. Pendapat ini didasarkan penulis pada pemahaman karakter budaya Bugis Makassar yang sejak dulu sangat berhati-hati dalam mencampuri "ranah SIRI" rumpun keluarga orang lain, dimana "SIRI" adalah azas universal yang sesungguhnya selalu dikedepankan seluruh suku bangsa di Sulawesi Selatan. Dengan demikian, adalah hal yang mustahil sekiranya Sultan Malikussaid, seorang penguasa utama yang terkenal arif serta didampingi mangkubuminya yang cendekia (I Mangadacina DaEng Sitaba KaraEng Patingaloan KaraEng Tallo Tumabbicara Butta Gowa) begitu "sembrono" mencampuri urusan keluarga Raja Bone sedemikian jauhnya.
Sepanjang perjalanan ke Wajo, iring-iringan bala tentara Kerajaan Gowa senantiasa menggalang persekutuan dengan kerajaan-kerajaan yang dilaluinya, termasuk Kerajaan Sidenreng. Maka terhimpunlah pasukan sekutu yang amat besar, menyerbu bagai air bah memasuki kancah peperangan Wajo dan Bone.
Menghadapi pasukan gabungan Gowa, Wajo, Sidenreng dan lainnya yang berjumlah besar serta masih segar, Baginda La Maddaremmeng yang dibantu oleh saudaranya, yakni : La Tenriaji Tosenrima, seketika itu terdesak. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, pasukan Bone yang kelelahan itu terpukul mundur. Baginda La Maddaremmeng dan La Tenriaji mundur hingga di negeri Larompong yang termasuk dalam wilayah kerajaan Luwu. Hingga pada akhirnya, Baginda La Maddaremmeng terkepung di Cimpu lalu tertawan oleh pasukan gabungan. Sementara itu, La Tenriaji berhasil meloloskan diri.
Peperangan yang menelan banyak korban jiwa para ksatria itu berakhir dengan mengukukuhkan kemenangan pasukan Gowa beserta sekutunya. Baginda La Maddaremmeng ditawan disalahsatu kubu pertahanan pasukan Gowa di Sanrangang. Maka lontara menyebutkan gambaran era pada masa itu, bahwa : "Naripoatana Bone seppulo pitu taung ittana.." (Diperbudaklah Bone selama tujuh belas tahun).
Setelah menguasai Kotaraja Bone sepenuhnya, Baginda Sultan Malikussaid mengumpulkan "Ade' PituE" (Dewan Hadat Kerajaan Bone yang berjumlah 7 orang) seraya memaklumatkan kedaulatan Gowa atas Kerajaan Bone. Baginda meminta kepada dewan tersebut agar segera menunjuk seorang Raja Bone yang baru, pengganti Puatta La Maddaremmeng Sultan Ahmad Saleh yang kini ditawan pasukan Gowa. Namun baginda Sultan Malikussaid mempersyaratkan kiranya Mangkau' Bone yang baru tersebut harus tunduk terhadap kekuasan Kerajaan Gowa sebagai pemegang supremasi tunggal di Sulawesi. Namun dewan Ade' PituE merasa tidak mampu mendapatkan figur yang sesuai dengan persyaratan tersebut, bahkan meminta agar kiranya sekalian Sultan Malikussaid sendirilah yang menjadi Mangkau Bone. Tetapi Sultan Malikussaid menolak permintaan itu karena memahami Ade' Wari (Hukum Pranata) yang berlaku di Bone, bahwa seorang Raja Bone adalah mutlak keturunan Petta ManurungngE Matajang, pendiri kerajaan Bone yang sekaligus juga sebagai Mangkau' Bone I. Hal itu juga sama halnya di Gowa, bahwa seorang Raja Gowa haruslah keturunan Manurungnga ri TamalatE, pendiri dan Somba Gowa I. Begitulah halnya dengan karakter dan azas moral seorang Raja yang menurunkan bangsawan, yakni senantiasa menwasiatkan kepada anak turunannya untuk selalu mawas diri yang diistilahkan dalam khazanah Paseng Ugi', yakni : Naisseng AlEna na pakalebbi'i bali arungna (Tahu diri serta memuliakan sesamanya bangsawan).
Maka Sultan Malikussaid menawarkan jabatan itu kepada Mangkubuminya, yakni : I Mangada'cina DaEng Sitaba KaraEng Patinggaloan KaraEng Tumabbicara Butta Gowa. Namun mangkubumi yang arif bijaksana itu menolak dengan alasan yang sama pula. Akhirnya Sultan Malikussaid meminta kepada pamannya, yakni KaraEng Sumanna untuk menerima jabatan tersebut, mengingat Kerajaan Bone haruslah secepatnya memiliki pucuk pimpinan pemerintahan agar tidak terjadi kekacauan dimasyarakatnya yang baru saja kalah perang itu. KaraEng Sumanna menerimanya sesaat, kemudian atas persetujuan Sultan Malikussaid , beliau menunjuk Tobala Arung TanEtE ri Awang yang juga salahseorang anggota Dewan Hadat Ade' PituE untuk bertindak sebagai "Jennang" (Gubernur) yang melaksanakan pemerintahan di Bone sebagai perpanjangan tangan Pemerintahan Kerajaan Gowa.
Adapun halnya dengan Puatta La Tenroaji Tosenrima yang berhasil meloloskan diri di pengepungan Cimpu, beliau berhasil menyusup kembali ke Kotaraja Bone. Secara diam-diam, beliau mendatangi satu demi satu para pangeran Bone yang masih setia pada Kerajaan Bone yang sesungguhnya tidak pernah rela terjajah oleh Kerajaan Gowa. Maka beliaupun berhasil dengan gerakan bawah tanah tersebut, mengkonsolidasi para tokoh-tokoh Kerajaan Bone dengan membentuk sebuah Pasukan yang cukup kuat. Maka rakyat Bone mendaulat beliau sebagai Raja Bone yang sah, menggantikan kakaknya yang kini dalam tawanan Kerajaan Gowa.
Mengetahui perihal pemberontakan rakyat Bone yang dipimpin oleh La Tenroaji tersebut, Sultan Malikussaid murka. Baginda sendiri memimpin pasukan Gowa yang terkonsolidasi dengan pasukan-pasukan kerajaan sekutunya (Wajo dan Sidenreng) menyerbu Tana Bone yang sudah dikuasai La Tenroaji dan segenap lasyarnya. Mengetahui jika pasukan gabungan dalam perjalanan memasuki wilayah Bone, La Tenroaji memobilisasi pasukannya ke bukit PassEmpe', suatu areal perbukitan yang tidak jauh dari Kotaraja dan sangat ideal untuk dijadikan basis pertahanan. Akhirnya terjadilah pertempuran sengit di PassEmpe' yang tertulis dalam kenangan Lontara Bilang (Catatan harian Raja-raja Gowa) sebagai : Bundu'ka ri PassEmpe' (Peperangan di PassEmpe').
Pertempuran itu berlangsung dengan dahsyatnya, memakan korban yang tidak sedikit pada kedua belah pihak. Hingga pada penghujung perang itu, basis pertahana pasukan Baginda La Tenroaji dapat dibobol oleh pasukan gabungan yang lebih banyak serta berpengalaman. Peristiwa pahit ini tertulis pada Lontara Bone sebagai : BEtaE ri PassEmpe' (Kekalahan di PassEmpe) kemudian Puatta La Tenroaji digelari pula sebagai : Betta'E ri PassEmpe' (Sang Jagoan di PassEmpe') atas keberaniannya yang mencengankan kawan maupun lawannya. Akhirnya baginda La Tenroaji tertawan oleh pasukan gabungan hingga kemudian diasingkan ke negeri Siang (Pangkep) sampai wafatnya. Maka baginda diberi gelar anumerta : Petta MatinroE ri Siang. Demikianpula dengan para pangeran dan tokoh-tokoh Bone yang membantunya, semuanya ditawan ke Gowa sebagai budak kalah perang.
Kiranya penuturan ini semakin jauh dari tema dan judul tulisan ini. Hal ini dipaparkan sebagai latar "jernih" yang diharapkan menjadi penguat kiranya kita dapat mengenal lebih dalam mengenai hidup dan ketokohan Baginda La Tenri Tatta DaEng SErang Petta MalampE'E Gemme'na yang selama ini diselimuti kabut kontroversial. So, don't judge me if you don't know about me..
Masa Kecil Yang Penuh Derita
Kemenangan perang Gowa bersama sekutunya di PassEmpe' mendatangkan keuntungan yang luar biasa. Kerajaan Gowa kini menjadi satu-satunya pemegang supremasi di jazirah Sulawesi dan sekitarnya. Namun bagi kerajaan Bone dan Soppeng, kekalahan itu berdampak penderitaan dan penghinaan yang luar biasa. Para pangeran dan rakyat serta segenap harta kedua negeri itu dibagi-bagikan kepada negeri penakluknya sebagai rampasan perang.
Adapun halnya Kerajaan Wajo sebagai sekutu pihak pemenang, menolak pembagian rampasan perang yang diberikan oleh Sultan Malikussaid. La Makkaraka Topatemmui Arung Matoa Wajo XX menolak memperbudak orang Bone dan Soppeng disebabkan karena dipandangnya kedua negeri itu adalah saudara kandung sesuai dengan Perjanjian LamumpatuE ri Timurung yang mempersaudarakan 3 Negeri, yakni : Bone, Wajo dan Soppeng yang lebih dikenal sebagai TellumpoccoE. "Adalah pantangan memperbudak saudara sendiri !", demikian kata Arung Matoa Wajo.
Alkisah, La Pottobunne' Arung Tana Tengnga sekeluarga adalah termasuk tawanan perang BEtaE ri PassEmpe'. Baginda bersama ayahanda ( La Sangaji KaraEng LoE Arung Tana Tengnga Toa) beserta isteri dan anak-anaknya berada di Gowa sebagai budak kalah perang. Mereka dibagi-bagikan pada para penguasa Gowa dengan dipekerjakan sebagai abdi istana. La Pottobunne' Arung Tana Tengnga kadang-kadang dijadikan sebagai pembawa tombak Sultan Malikussaid atau pada KaraEng Tumabbicara Butta Gowa beserta keluarga Sultan yang lain.
Adapun halnya dengan putera La Pottobunne', yakni : La Tenri Tatta yang baru berumur 11 tahun, sehari-hari ditempatkan di istana I Mangada'cina DaEng Sitaba KaraEng Patinggaloan KaraEng Tumabbicara Butta Gowa. Beberapa pakar sejarah Bugis-Makassar meriwayatkan masa kecil La Tenri Tatta tersebut yang tumbuh hingga remaja di Gowa selaku tawanan perang. Masa kecil seorang pangeran yang semestinya penuh warna keceriaan dan kemuliaan dalam istana negerinya sendiri, namun terpaksa dijalani sebagai pangeran tawanan yang penuh keprihatinan di istana penakluk negerinya.
Bahwa diberitakan La Tenri Tatta adalah anak yang "ditakdirkan" dengan penuh talenta sejak lahirnya. Ia bergaul dengan anak-anak sebayanya yang kebanyakan terdiri dari para pangeran Gowa. Sebagaimana halnya aktifitas keseharian para Ana' Arung (Pangeran) yang bermain sambil berlatih aneka permainan rakyat dan olahraga ketangkasan seperti Mallogo, maggasing, marraga (sepak takraw), menca'(pencak silat), maka La Tenri Tatta yang disapa sebagai DaEng SErang dalam kompleks istana Gowa, dikenal sebagai pemain yang paling mahir dan menonjol diantara teman-teman sepermainannya. Salah seorang pangeran lainnya yang dianggap setara dalam hal kemahiran permainan ketangkasan, adalah : I Mallombasi DaEng Mattawang yang adalah putera kesayangan Sultan Gowa sendiri. Walaupun demikian, kedua pangeran kecil yang berlainan poros politik ini sangat akrab dan saling menghormati satu sama lainnya.
Mendapati puteranya tercinta sebagai "anak gaul" walaupun berstatus "anak tawanan" dalam kompleks istana Gowa, We Tenrisui yang merupakan pemegang tahta Mario kerap menyebut La Tenri Tatta kecil sebagai "Datu Mario". Hal itu dapat dimengerti sebagai ungkapan rasa sayang seorang ibu yang disertai "rasa iba" terhadap nasib malang puteranya yang tumbuh ditengah situasi "terhina" sebagai budak tawanan perang.
Kepribadian DaEng SErang yang sopan dan cekatan membuatnya disenangi oleh para penghuni istana, sehingga kerap ditugaskan oleh Mangkubumi kerajaan sebagai pembawa pekinangan (Tempat Sirih) pada berbagai acara penting istana. Tentu saja sebagai seorang pembawa tempat sirih, ia senantiasa duduk dibelakang Sang Mangkubumi yang arif bijaksana tersebut.
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian terdahulu, bahwa I Mangadacina DaEng Sitaba KaraEng Patingalloang yang juga menjabat sebagai KaraEng Tumabbicara Butta Gowa (Mangkubumi) adalah seorang tokoh besar Gowa yang terkenal hingga jauh ke benua Eropa. Dennys Lombard (1996) menyebutnya sebagai "Priagung" yang telah mempelajarai Bahasa Latin,Spanyol, Portugal, Belanda dan lainnya serta menguasainya dengan sangat baiknya hingga menyamai native speakernya sendiri. Pastor Alexander de Rhodes S.J (pencipta huruf latin untuk Bahasa Vietnam) ketika singgah di Sulawesi Selatan serta bertemu dengan KaraEng Pattingalloang mengungkapkan kekagumannya dalam tulisannya tentang tokoh besar itu, dikutip sbb :
"..jika kita mendengarkan omongannya tanpa melihat orangnya, pasti kita mengira bahwa dia adalah orang Portugal sejati. Karena dia berbahasa Portugal sama fasihnya dengan orang Lisbon. Ia menguasai denganbaik segala misteri kita dan telah membaca dengan seksama semua kisah raja-raja kita di Eropa dengan keinginantahuan yang besar. Diantara koleksinya terdapat karya Founder Louis de Granada O.P yang telah dibacanya dalam bahasa aslinya. Namun yang paling mengagumkan dari KaraEng Pattingalloang adalah cintanya pada ilmu-ilmu exacta. Ia selalu membaca buku-buku kita dan khususnya mengenai Matematika, ia begitu ahli dan begitu besar cintanya pada setiap bagian ilmu ini sehingga mengerjakannya siang dan malam.." (Muh. Hasir Sonda, Pattinggalloang : Intelektual, Aktual, pada Masanya – Artikel).
KaraEng Pattingalloang memiliki pula perpustakaan yang luar biasa dengan berbagai koleksi buku, Bola Dunia dari kayu/tembaga dan berbagai atlas dunia dari Eropa. Selain itu, baginda pula memiliki laboratorium yang berisi berbagai prisma, Teropong Bintang dan lainnya. Hal inilah sehingga KaraEng Patingalloang dikagumi para orang Eropa berkat penguasaanya dalam bidang Matematika, Geografi, Astronomi dan Optik sebagai seorang negarawan dan ilmuwan yang rasional sehingga sangat berperan dalam mengantarkan Kerajaan Gowa menuju Dinamika Global.
Demi melihat potensi alami bocah pangeran taklukan itu sebagai baja unggul yang belum tergosok, maka Sang Mangkubumi yang visioner itu tertarik untuk "ikut membentuk" bakal tokoh sejarah yang mungkin saja diprediksinya akan menjelma sebagai tokoh yang lebih besar dari dirinya sendiri. Maka terjalinlah kedekatan "khusus" antara La Tenri Tatta dengan KaraEng Patingalloang yang menurut banyak pakar sejarah Sulawesi Selatan sebagai moment paling berpengaruh yang benar-benar membentuk kemampuan intelektual seorang "Kaisar Sulawesi" beberapa tahun kemudian.
Sebagaimana dituturkan pula oleh para periwayat, bahwa selain mengasah berbagai kemampuan, La Tenri Tatta tergolong pula sebagai anak yang sholeh dengan senantiasa rajin menimba ilmu-ilmu agama pada beberapa ulama yang tinggal disekitarkompleks Istana Gowa di Somba Opu. Maka tidak mengherankan jika kelak pada masa jayanya , baginda memiliki perhatian besar terhadap pengembangan syiar Islam sehingga oleh beberapa kalangan dimasa kini menggolongkannya pula sebagai salahseorang "personil" Wali PituE (7 Wali) dengan cerita berbagai karamah kewaliannya yang mencengankan. Namun dari sinilah pendeskripsian tentangnya sebagai "dukun sakti" bermula yang justru mengaburkan persepsi keagungannya sebagai seorang Penguasa Terbesar yang pernah ada di Jazirah Sulawesi sejak lahirnya hingga dimasa kini.
Wallahualam bi sawab
DAFTAR BACAAN :
- Andaya Leonard Y, 1977. Arung Palakka and Kahar Muzakkar; A Study of The Hero Figur In Bugis Makassar Society, dalam People and Society in Indonesia; A Biblegraphycal Aproach University
- Mattulada, H. A., 1988. Sejarah, Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Hasanuddin University Press, Makassar
- Sagimun, 1985. Sultan Hasanuddin Menentang V.O.C, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta